Masjid, Maulid, dan Tahlilan

Lokasi Membangun Masjid

Dalam kitab Iqtidho-ush Shirothol Mustaqim Mukholafata Ash-habil Jahim, yang diterjemahkan Abu Fudhail dengan judul Jalan Islam Versus Jalan Setan (selanjutnya JIVJS), diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan pada Oktober 2001, halaman 175-176, Ibnu Taymiyah mengutip riwayat Imam Ahmad dari Sayidina Ali ra, berkata: “Beliau SAW tidak suka shalat di negeri Babilon dan negeri yang telah dimusnahkan (melalui adzab)”.

Maka jelaslah, menurut Ibnu Taymiyah, membangun Masjid di tempat yang pernah turun siksa padanya merupakan perbuatan bid’ah. Dan masuk ke dalam Masjid yang dibangun dengan bid’ah adalah haram. Sama hukumnya dengan Masjid Dhiror.

Namun membangun Masjid di tempat yang dulunya pernah terjadi ma’siat tetapi tidak sampai turun adzab adalah dibolehkan. Misalnya mengubah Gereja menjadi Masjid. Bahkan Masjid Nabawi dibangun di atas tanah bekas kuburan orang musyrik.

Bentuk Masjid

Bentuk Masjid yang dibangun Rasulullah SAAW pada awalnya berbeda dengan Masjid yang dibangun saat ini. Lantainya tidak menggunakan marmer atau pun karpet. Atapnya juga tidak berkubah. Bentuk Masjid berkembang hingga menjadi bentuknya yang sekarang ini setelah bersentuhan dengan kebiasaan bangsa ajam (non-Arab).

Adab Memasuki Masjid

Dalam JIVJS halaman 333, Ibnu Taymiyah berkata: “Allah juga memerintahkan kita untuk shalat mengenakan sandal, untuk membedakan diri kita dari orang-orang Yahudi.”

Ummat nabi Musa hanya boleh sholat di dalam Baitullah. Dan mereka harus melepaskan terompah mereka sebelum masuk ke Bait Allah. Sedangkan ummat nabi Muhammad boleh sholat di mana saja, namun ada tempat-tempat tertentu yang makruh bahkan haram shalat di situ. Dan Nabi telah shalat dengan mengenakan terompahnya. Sedangkan beliau adalah uswatun hasanah.

Perayaan

Merayakan merupakan perbuatan mengistimewakan suatu peristiwa. Peristiwa yang biasa dirayakan itu antara lain adalah peristiwa proklamasi kemerdekaan, berdirinya suatu partai (milad partai), kelahiran seseorang, pernikahan, dsb. Semua itu umum dirayakan orang. Adapun peristiwa istimewa dalam suatu agama juga biasa dirayakan oleh masing-masing pemeluknya pada hari raya keagamaan mereka.

Dalam Islam juga ada hari-hari tertentu yang memiliki nilai sejarah atau pun keistimewaan. Misalnya hari Senin, hari dimana Nabi Muhammad SAAW dilahirkan. Begitu juga hari Jum’at (hari keenam), hari dimana Nabi Adam diciptakan. Tanggal 10 Muharram, hari dimana Nabi Musa diselamatkan dari Fir’aun dan tentaranya. Tanggal 1 Syawal dan 10-13 Dzul Hijjah juga umum dirayakan oleh ummat Islam tiap tahunnya.

Dalam JIVJS halaman 335, Ibnu Taymiyah menulis, “Sesungguhnya ‘id (hari besar) yang disyari’atkan itu meliputi ibadah yang tercakup di dalamnya, yakni: shalat, dzikir, sedekah atau penyembelihan hewan. Maka terpadulah di sana antara adat/kebiasaan seperti memberikan kelonggaran dalam makan minum dan berpakaian diiringi dengan meninggalkan pekerjaan wajib (misalnya larangan puasa pada ‘idain, hari tasyriq dan hari Jum’at secara sendiri -adm.), diperbolehkannya bersuka-ria dengan beraneka ragam permainan yang diperbolehkan di hari raya dan lain-lain… Dalam hari-hari raya, disyariatkan beberapa bentuk ibadah -wajib maupun sunnah- yang tidak disyariatkan pada hari-hari lain. Pada hari-hari raya itu juga diperbolehkan atau disunnahkan bahkan diwajibkan beberapa kebiasaan yang bisa menghibur perasaan yang tidak disyariatkan di hari-hari lain. Oleh sebab itu, dilarang untuk shaum pada ‘idain (Idul Fithri dan Idul Adh-ha). Dalam Idul Fithri dikaitkan dengan ibadah lain, yakni bersedekah (zakat fithroh). Sementara dalam Idul Adh-ha dikaitkan dengan ibadah penyembelihan (udh-hiyah). Keduanya berkaitan dengan makanan.”

Maka jelaslah bahwa melonggarkan dalam hal makanan dan minuman untuk merayakan hari istimewa merupakan hal yang dibolehkan, bahkan sunnah. Bahkan dianjurkan bagi ummat Islam untuk memasak daging setiap hari Jum’at.

Merayakan Maulid

Maulid telah dirayakan juga pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi. Di berbagai negeri, maulid telah dirayakan oleh mayoritas kaum Muslimin. Hingga datang suatu makhluq dari tempat timbulnya tanduk setan, Nejd. Lalu makhluq itu diikuti oleh minoritas kaum Muslimin yang menyempal dari Jama’ah yang hingga saat ini terus menimbulkan firqoh-firqoh baru yang lebih kecil.

Diantara mereka ada yang berkata, “Apakah nabi atau pun shahabat merayakan Maulidur Rasul?”

Maka kita jelaskan kepada mereka bahwa Nabi SAAW mengistimewakan hari lahirnya SAAW, sebagaimana beliau SAAW mengistimewakan hari diselamatkannya Nabi Musa as. Nabi berpuasa pada hari Senin sebagaimana Nabi berpuasa pada 10 Muharram, hari di mana Nabi Musa diselamatkan.

Tentang keistimewaan hari lahir Nabi saw, terdapat hadits shahih dari Abi Qatadah, beliau menceritakan bahwa seorang A’rabi (Badawi) bertanya kepada Rasulullah saw: “Bagaimana penjelasanmu tentang berpuasa di hari Senin? maka Rasulullah saw menjawab, ‘Ia adalah hari aku dilahirkan dan hari diturunkan kepadaku Al-Qur’an” [Syarh Shahih Muslim An-Nawawi 8 / 52]

Maka merayakan dan bergembira atas lahirnya Rasul bukanlah perkara baru yang ditambah-tambahkan. Bahkan Allah menyuruh kita untuk bergembira atas karunia dari-Nya. Lahirnya Rasulullah adalah termasuk karunia terbesar bagi kita. Maka sunnahnya merayakan kelahiran Rasul tidak bisa dibantah hanya dengan perkataan ustadz-ustadz ekstrim. Agama kita bukanlah agama ‘qola ustadz’, tetapi ‘Qolallahu wa qolarrasul’. Dan tidak pernah Allah atau pun Rasul-Nya menyuruh kita untuk bersedih atas wafatnya Rasul kelak.

Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. [QS. Yunus: 58]

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiya: 107]

Mereka berkata, “Tetapi bentuknya berbeda dengan cara Nabi.”

Kita jelaskan kepada mereka bahwa tidak ada aturan khusus dalam hal ini. Sehingga bentuknya bebas, selama tidak mengandung kema’siatan. Dan acara perayaan maulid tidak terpaku pada tanggal 12 Rabi`ul Awwal. Bahkan di Masjid Al-Munawar Pancoran, Jakarta Selatan, pembacaan riwayat maulidur Rasul dilakukan setiap Senin malam tiap minggunya sepanjang tahun. Karena mereka begitu gembira atas kelahiran Nabiyur Rohmah SAAW.

Lalu tanyakan kepada mereka, “Apakah Nabi pernah membangun Masjid?” Tentu mereka membenarkan bahwa Nabi pernah membangun Masjid. Maka membangun Masjid dan merayakan maulidur Rasul adalah dua hal yang telah dilakukan Rasul.

Tanyakan lagi kepada mereka, “Apakah bentuk Masjid yang dibangun Rasul itu seperti yang umum dibangun saat ini?” Maka mereka akan mengatakan bahwa bentuk Masjid sekarang ini berbeda dengan bentuk Masjid di zaman Rasul.

Jelaskan kepada mereka bahwa perbedaan bentuk Masjid tersebut juga telah menyebabkan perbedaan dalam hal adab memasuki Masjid. Jika dahulu seseorang shalat dengan tetap mengenakan terompah, sekarang kita sholat dengan meletakkan terompah di luar Masjid seperti yang dilakukan Musa di lembah suci Thuwa. Lalu tanyakan kepada mereka, “Apakah membangun Masjid dengan bentuk yang sekarang dan melepaskan terompah di luar Masjid merupakan perbuatan bid’ah dholalah?” Jika mereka menjawab, “tidak,” maka jelaskan kepada mereka bahwa merayakan maulidur Rasul dengan bentuknya yang sekarang bukanlah bid’ah dholalah.

Sepertinya, tidak mungkin mereka menyatakan bahwa melepaskan terompah di luar Masjid itu bid’ah dholalah karena menyelisihi sunnah Rasul dan meniru Yahudi. Dan tidak mungkin mereka menyatakan bahwa membangun Masjid dengan bentuknya yang sekarang adalah bid’ah dholalah dengan alasan tidak dicontohkan Rasul, meniru adat/kebiasaan non-Muslim, dan menimbulkan bid’ah lainnya. Karena, jika mereka menyatakan demikian, katakan saja kepada mereka, “Mengapa kalian tidak mengenakan saja terompah kalian di dalam Masjid? Mengapa tidak kalian hancurkan saja kubah-kubah dan lantai-lantai marmer Masjid yang kalian klaim tasyabbuh kepada bangunan non-Muslim? Mengapa kalian tetap shalat di dalamnya, sedangkan menurut kalian Masjid-Masjid sekarang dibangun atas dasar bid’ah dan bukan atas dasar taqwa?”

Maka jelaslah bahwa merayakan maulidur Rasul dengan bentuk berkumpul di Masjid atau suatu tempat, dengan membaca shalawat, Al-Qur’an, Hadits, riwayat kelahiran Rasul SAAW bukanlah bid’ah dholalah. Berlonggar dalam hal makanan dan minuman pada perayaan Maulid bukanlah bid’ah dholalah. Menghadirinya bukanlah perbuatan bid’ah dholalah. Menabuh tabuhan dan berqoshidah/bernasyid dalam perayaan Maulid bukanlah bid’ah dholalah. Karena yang demikian itu adalah bentuk kegembiraan yang diperbolehkan dalam perayaan.

Tahlilan

Tahlilan yang kami maksud di sini tentulah perbuatan di mana orang-orang berkumpul di suatu tempat, membaca Al-Qur’an, tasbih, tahlil, shalawat dan sebagainya yang kemudian pahalanya dihadiahkan bagi orang-orang yang sudah wafat.

Perbuatan mengirim hadiah pahala telah dicontohkan pada zaman Rasul, shahabat dan tabi’in. Mayoritas ulama sepakat atas kebolehannya dan sampainya. Ada pun bentuknya yang berbeda, tidaklah menjadikannya sebagai perbuatan bid’ah dholalah. Karena tidak ada larangan untuk berjama’ah dalam mengirim hadiah pahala ini, dan memang tetap sampai walau yang menghadiahkan itu bukan keluarganya.

Leave a comment